“We have a contract, you and I : not to win when victory is possible,”
-The Valkyrie, Paulo Coelho-
Adakah perjanjian seperti ini?
Seseorang mengatakan tidak mungkin sebab akan menghilangkan motivasi masing-masing untuk melaksanakan kompetisi itu.
Tapi sepertinya untuk cinta dan kemanusiaan, semua menjadi mungkin. Manusia bisa saja meninggalkan egonya di dalam laci.
Sempurna! :)
Lascio mia penna correre, cosi la gioia di scrivere crescera. I let my pen runs, thus the joy of writing will happen...
Monday, September 19, 2011
Sunday, September 18, 2011
Kamukah? Est-ce toi?
[seringkali aku membuka jendela bukan karena ada burung yang bernyanyi...
tapi karena aku merasa
kau baru saja ada di baliknya...]
J'ai ouvert des fois la fenetre.
Ce n'est pas parce qu'il y avait des oiseaux chantaient.
C'est parce que je croyais que
tu étais la.
Saturday, September 17, 2011
Semenjak
Kamu ingin aku menemuimu di kursi taman.
Ketika itu kamu sudah di sana, terdiam lama sekali.
Kamu meminta maaf padaku satu kali, kemudian termenung lagi.
Katamu dia datang lagi...
Dia yang kau pikir telah menyerpihmu menjadi remah-remah cinta yang tidak perlu diingat, tiba-tiba hadir seperti rumah kenangan yang menawarkan kunci putihnya untuk kau buka.
6 tahun. Aku membayangkan banyaknya kenangan yang kalian miliki, yang mungkin tidak saja tersimpan melainkan terjahit kuat pada ingatan.
Aku memikirkan apa yang sedang kau pikirkan, sambil sibuk menenangkan hati yang sepertinya ingin meledak, atau mungkin sudah, hanya saja tak terlihat.
Kamu meminta izin berpikir.
Tidak ada waktu dan aku hanya bisa menunggu.
Hingga hari ini bulan berganti lagi, aku masih di tempat yang sama, tidak kemana-mana.
Aku tidak bisa berpikir, apakah aku sudah menunggumu terlalu lama, atau masih terlalu sebentar. Aku mulai mengkhawatirkan kamu yang mungkin saja tertawan. Tersesat pada masa lalu dan tak menemukan jalan pulang, menemukan sedikit aku.
(17.30, di suatu sore yang murung)
Ketika itu kamu sudah di sana, terdiam lama sekali.
Kamu meminta maaf padaku satu kali, kemudian termenung lagi.
Katamu dia datang lagi...
Dia yang kau pikir telah menyerpihmu menjadi remah-remah cinta yang tidak perlu diingat, tiba-tiba hadir seperti rumah kenangan yang menawarkan kunci putihnya untuk kau buka.
6 tahun. Aku membayangkan banyaknya kenangan yang kalian miliki, yang mungkin tidak saja tersimpan melainkan terjahit kuat pada ingatan.
Aku memikirkan apa yang sedang kau pikirkan, sambil sibuk menenangkan hati yang sepertinya ingin meledak, atau mungkin sudah, hanya saja tak terlihat.
Kamu meminta izin berpikir.
Tidak ada waktu dan aku hanya bisa menunggu.
Hingga hari ini bulan berganti lagi, aku masih di tempat yang sama, tidak kemana-mana.
Aku tidak bisa berpikir, apakah aku sudah menunggumu terlalu lama, atau masih terlalu sebentar. Aku mulai mengkhawatirkan kamu yang mungkin saja tertawan. Tersesat pada masa lalu dan tak menemukan jalan pulang, menemukan sedikit aku.
(17.30, di suatu sore yang murung)
Lima Ratus Juta Lonceng
Suatu hari, ketika kau merasa kehilangan.
Sementara kalimat-kalimat dari buku jemariku kelelahan mengisahkan.
Ku harap kau tak pejam...
Sebab ada lima ratus juta lonceng yang kita simpan pada lumbung ingatan.
Mereka terus berbunyi di sepertiga malam.
Membelah Arasy yang gemetar.
Dan sebelum kau jatuh lebih dalam pada lutut kesedihan,
burung manyar telah lebih dulu mengadukan sepimu pada kaki Tuhan.
Sementara kalimat-kalimat dari buku jemariku kelelahan mengisahkan.
Ku harap kau tak pejam...
Sebab ada lima ratus juta lonceng yang kita simpan pada lumbung ingatan.
Mereka terus berbunyi di sepertiga malam.
Membelah Arasy yang gemetar.
Dan sebelum kau jatuh lebih dalam pada lutut kesedihan,
burung manyar telah lebih dulu mengadukan sepimu pada kaki Tuhan.
Friday, September 16, 2011
Sunday, September 4, 2011
Api Kecil Si Sajak Rindu
Kudapati malaikat memanggul matahari di sayapnya, menuju persinggahan hatimu yang gelap terikat penantian
Seperti pendar yg berhenti mengucurkan sepi dari buku jemari.
Pada kebencian banyak anak manusia, kurindukan benih kepedulian yang mungkin tumbuh suatu ketika
Di setiap air mata yang ku larung, selalu kutemui remah daun kering anak musim yang tak lelah mengusapnya
Air mata menggandakan bebannya, kuat menghantam siluet diri sendiri, yang tak sengaja membuatmu tiada
Pagi terisak, kehilangan senyum milikmu yang kini hening di balik pusara
Ketika aku mencintaimu, pendar api berhenti menari.
Aku ingin pergi dari penantian meski aku khawatir baru menunggumu terlalu sebentar.
Burung gereja dan burung manyar;keduanya menertawakan kita yang begitu malu, untuk merindu.
Masih perlukah cinta bertengkar seperti dua puluh dua api yang menari di ujung musim hujan.
Kita masih bisa merayakan cinta, di pusaramu. Aku bawa serta kupu-kupu seperti yang sudah-sudah.
Seperti pendar yg berhenti mengucurkan sepi dari buku jemari.
Pada kebencian banyak anak manusia, kurindukan benih kepedulian yang mungkin tumbuh suatu ketika
Di setiap air mata yang ku larung, selalu kutemui remah daun kering anak musim yang tak lelah mengusapnya
Air mata menggandakan bebannya, kuat menghantam siluet diri sendiri, yang tak sengaja membuatmu tiada
Pagi terisak, kehilangan senyum milikmu yang kini hening di balik pusara
Ketika aku mencintaimu, pendar api berhenti menari.
Aku ingin pergi dari penantian meski aku khawatir baru menunggumu terlalu sebentar.
Burung gereja dan burung manyar;keduanya menertawakan kita yang begitu malu, untuk merindu.
Masih perlukah cinta bertengkar seperti dua puluh dua api yang menari di ujung musim hujan.
Kita masih bisa merayakan cinta, di pusaramu. Aku bawa serta kupu-kupu seperti yang sudah-sudah.
Subscribe to:
Posts (Atom)