Wednesday, December 29, 2010

Hello Germany! =)

Sabtu, 25 Desember 2010.

It's December 25th 2012. Special day for the European because it's Christmas. The holiday's coming! Many parties will be held, special offers, shiny streets, many stands of foods and beverages, babo natale, the red-white-green colors -which are like want to vomit-, Christmas trees in a huge size which are trying to compete our attention, white snow, and many others that boosted up my euphoria !


Discovering more and more about Europe is somehow my wild dream. So I've decided to make it real. I visit my friend Haekal in Germany with his other friends from Student College (pre-universities).  What a blast! Thanks to Allah, mom, dad, and all my family for all the support. Hmmm ;) (selalu ingin menyertakan mereka dalam setiap kenangan terbaik yang aku rasakan).

Oke ini ceritanya : 
Siap-siap gelar tiker sama kopi karena panjang. Posisi duduk diatur 4-6 mungkin ya biar bisa masuk.
Fiuuuh...
Perjalanan gw cukup melelahkan. 
Langkah pertama dari Perugia - Roma (Fiumicino airport) bisa dibilang nyesek, unik, dan riweuh. Hahaha
Nyesek karena gw harus mengikhlaskan 31 dari 200 euros yang ada di dompet untuk bayar denda karena lupa memvalidasi tiket sebelum naik kereta. Parahlah, udah beli tiket aja masih bisa kena, apalagi yang gak beli.
Guys walaupun gw gak maksud melanggar tapi sebenarnya kasus gini banyak kejadian kok #pembenarandancaricarialasan#. 
Penumpang seringkali terburu-buru saat naik di stasiun keberangatan jadi sering mem-validasi di stasiun selanjutnya (itu juga kalau berhenti). Checker nya juga bisa ngerti kok. Tapi entah kenapa, untuk kali ini ENGGAK! Oh crap!
Analisis sotoy gw dia gak dapet hadiah waktu christmas eve. 
Belum juga stasiun kedua, checker kejam sudah datang. Glek!

Setelah percakapan yang alot, gw pun kalah dan tetep harus bayar.
"Scusa, 31 euros signorina. Questo e il rigolamento". (Maaf, 31 euros nona. Ini sudah peraturannya) 
Yeh! Yasudahlah. Toh itu salah satu cara Tuhan untuk bilang "itu bukan rejekimu". Tapi saya banyak temannya lho. Ini terbukti dari banyaknya penumpang yang 'terjaring' sama ibu-ibu checker ini karena lupa mem-validasi tiket. Bahkan sepasang coppia anziana (pasangan kakek nenek) kena 100 euro berdua. Gw gak ngerti sih kok kenanya bisa beda, tapi tetep bersyukurlah gw kena lebih sedikit. Hehehe

Hal uniknya ada waktu gw transit (cambio) di stasiun Tiburtina which is hanya satu stasiun sebelum Roma Fiumicino tempat seharusnya saya turun. Jadi ketika semua orang turun dan menunggu kereta untuk transit datang, tiba-tiba saya mau pipis --'. Euw, gw udah tahu sih kalau ada toilet berbayar di sini (maksudnya otomatis). Tapi yang gw gak suka, kenapa harus di saat beberapa menit lagi keretanya datang. Alhasil, gw harus ribet ngeluarin dompet nyari 50 sen sambil melilit-lilitkan kaki gw di depan pintu otomatis yang gak kebuka-buka. Ternyata si Toilet ini pintar, dia gak bisa gw sogok dengan uang 2 sen (satu-satunya receh yang tersisa di dompet). Dia tetep mau 50 sen! -,-

Oke, akhirnya gw turutin. Gw titip koper sama mba-mba-yang-kayaknya-baik-hati terus gw lari nyari orang minta tukeran uang 50 sen. Gw berhasil di sasaran kedua!  Bangga juga gw akan hal ini. :P. Yes, senanglah kau toilet. Gw pun akhirnya bisa masuk. 
Pintunya kayak pintu lift yang terbuka otomatis dengan slide menyamping. Ketika dipencet langsung sang mesin berbicara : 
"Selamat datang, Anda saat ini berada di toilet. Waktu Anda blablabla, jika ingin menggunakan tissue tekan tombol blablabla, untuk air hangat tekan......"
Gw : (Baweeeeelll. Gila parah ini Toilet, jumawa sekali. Dia pikir gw gak tau bagaimana menggunakan dirinya. )

      *****
Wuhuuw, oke lanjut ke cerita yang lebih seru lagi. Jermaaan...Jermaaaaannn!! ;D

Gw naik pesawat Alitalia (maskapai Italia) dari Fiumicino ke Frankfurt. Dijadwal gak delay, gw bersyukur banget karena itu artinya badai salju udah mereda di Jerman :). Eh tapi, saat kita semua udah di dalam pesawat sang pilot memberitahukan bahwa kita tidak bisa berangkat karena di Jerman cuacanya memburuk lagi. Artinya gw harus banyak doa lagi. Gak ketinggalan gw juga malakin doa ke mama, kakak, dan adik lewat sms. Hehehe. Sukses! Makasih ya mamah. Alhamdulillah cuma delay 1 jam, itu juga terobati karena gw baca buku Paulo Coelho yang ternyata keren parah.

Pesawat akhirnya take off. Dalam waktu kurang dari 2 jam gw sampai Frankfurt! Asiiiik asiiikk! 
*eh cool aja kali ra* :P
Ini pemandangan yang pertama kali gw liat di kota Frankfurt dari depan Hauptbahnhof (stasiun utama kota Frankfurt yang nyambung dengan airportnya). Tapi ini foto hari ke-2 bukan saat pertama kali sampai.




Di depan kereta ICE (InterCityExpress kereta tercepat di Jerman yang juga beroperasi di Denmark, Swiss, dan Austria). Rem nya buatan bapak Prof.Ing BJ.Habibie. Fokus di kereta, jangan pada wanita di depannya :p

 Ruang pengoperasian kereta ICE (credit : google)


Zentrum (pusat) kota Frankfurt




Gw dijemput oleh mafioso Jerman Haekal Nada, di terminal 1. Ekal adalah tipikal mafioso perampok bank yg niatnya sih mau ngerampok bank Uni Eropa dengan kawan-kawanya tapi selalu lupa bawa senjata (katanya). Haekal masih sekolah di sebuah Student college tersulit nomor 2 di Jerman, Hochschule Coburg ( University of applied sciences) namanya. (Tuh kal, udah gw puji dikit-dikit sesuai pesanan. Hahaha).Oke di airport udah ada 3 teman Indonesianya juga. Namanya Yeza, Bintang (rekan mafia/mafioso nya Haekal yang seringkali menjadi semacam tembok tak berkehidupan jika sudah pacaran dengan PSP dan novel E-booknya, dan Tika (kakak manis yang paling geli kalau dipanggil 'kakak' dan frau oleh kami. Haha bener kan ya kak Tika yaa...).

 Bintang with his gf
Baju ala mafia Italia

Pertama kali ketemu, waaaah pasti bakal seru. Gaya mereka soalnya asik. Friendly :).
Dari bandara Frankfurt, kita naik kereta di Hauptbahnhof menuju Büdingen , kota tempat Tika kerja sebagai Au pair di sebuah keluarga Jerman. Au pair adalah program yang sudah dikenal di beberapa negara Eropa dan Amerika  untuk bekerja di rumah keluarga negara tujuan. Au pair biasanya mendapat fasilitas dan sekolah bahasa gratis oleh pemilik rumah. Benar-benar bisa menambah pengalaman dalam dua hal : pendidikan dan pekerjaan. :).

Rumah keluarga Au Pair nya Tika

Yang menarik dari Jerman adalah adanya Hessenticket. Tiket yang memungkinkan kita bebas melakukan perjalanan selama 1 hari penuh dengan kereta atau bus ke semua kota di Jerman, bahkan bisa sampai negara perbatasan seperti Austria. Harga nya 31 euros  dan berlaku untuk 5 orang. Jika di-share per orang hanya bayar 6 euro. Efisien karena kita tidak perlu lagi repot antri beli tiket setiap kali ingin atau harus ganti alat transportasi.
Berbeda dengan di Italia yang masa berlaku tiket hanya 2 jam dan berlaku di wayah regional saja. (Belakangan di Italia juga ternyata ada. Tapi bedanya tiket terusan yang dijual untuk sendiri, bukan untuk rombongan. Harga tiket 4 euros untuk 1 hari penuh di dalam 1 kota. Harga mengacu untuk kota Roma)



**************

Day by Day in Germany

"Salju dan Keisengan yang Lahir dari Otak Kami"

Sepanjang perjalanan, gw udah dihebohkan dengan teriakan-teriakan lucu (dari mulut gw sendiri) karena begitu excitednya melihat ini....

foto diambil dari dalam kereta RE  menuju Gelnhausen

Dari Gelnhaussen kita naik kereta HLB ke Büdingen. Kemudian naik taxi. Ketika gw sampai, jam udah menunjukkan pukul 21.00 malam. Tapi putihnya salju yang menutupi jalan membuat malam di Büdingen lebih terang dan tenang. Malah gw sempet merasa kayak lagi di langit karena sedang nginjek awan, putih, halus, dingin, bersih, indaah :)
Saking indahnya gw udah membulatkan tekad untuk bangun pagi-pagi keesokan harinya. Dan beberapa gambar yang berhasil gw ambil adalah..... cekidot :








 Tika :)



By the way, sudah tahu belum kalau bentuk setiap butir salju itu seperti pohon cemara. We call it snowflakes :)


(credit : google)



 Büdingen di hari minggu







Di bawah ini adalah bentuk-bentuk rumah di Büdingen. Pola nya terlihat jelas ya, banyak garis simetris, kotak-kotak, memberi kesan kaku menurut gw. Tipikal orang Jerman sih kalau kata Haikal :)



Oke berikut ini ada galeri foto lagi.
Sebenarnya masih kepingin kasih penjelasan yang panjang but I have no enough time. Beberapa jam lagi saya harus siap-siap ke Frankfurt, karena kami janjian dengan sebuah agensi perjalanan untuk pergi ke Prancis malam ini dan tahun baruan di sana. Horeeee Alhamdulillah, senang, bahagia, riang, gembira, berlarian ke sana kemari, yeh ;P
Selamat melihat teman-teman!!
Beberapa foto diambil kemarin saat gw bersama para mafia jalan-jalan ke kastil Büdingen Schloss yang berakhir dengan lempar-lemparan salju dan tantangan JackAs  buka baju di tengah udara dingin serba minus oleh para mafia. Kemudian foto di centrum kota Frankfurt dan belanja di Zeil Gallerie, NewYorker, H&M, Zara, makan di Jade restoran (resto Cina yang makanannya dewa semua dalam hal rasa maupun porsi) bareng teman-teman Ekal yang lainnya.

Oia Jerman surganya belanja. Jadi banyak banget toko baju, tas, sepatu ber-merk kayak yang gw sebut di atas dijual dengan harga murah. Kata don Haekal yang tukang gangguin orang tidur sih, tempat-tempat belanja di sini disubsidi sama pemerintah. Jadilah harganya masuk di kantong. Yaah walaupun gak usah disubsidi gw juga tetep bisa beli.. hahaha *menghilang*
Hmm, nge-pens lah sama Jerman atas kemurahan hatinya ini.






Bintang, serius penasaran mau nyicipin duluan masakan yang dia buat sama Yeza, dan Haekal. Siapapun yang tinggal di luar negeri pasti kemampuan masaknya naik satu atau beberapa level. Tidak terkecuali mereka yang jadi ngerti dunia perbumbuan.



Bersiap merampok bank

(Thanks for reading, ara)


Wednesday, December 22, 2010

Oase Mata Hati


Mama adalah saat mata kecilku dulu tengah tertutup, namun dia terjaga.
Mama adalah doa-doanya kepada Allah saat aku menjalani setiap ujian.
Mama adalah saat ia siap dengan kebayanya, memulai hari dengan hembusan dingin AC Taxi yang membawanya pergi ke tempat acara pernikahan untuk bekerja.
  Bahkan ketika hatinya masih basah oleh rindu kepada ayah... sayap hati kami yang baru beberapa hari pergi.
Mama adalah dia yang ketika pulang bekerja tetap semangat memanggil anak-anaknya sebelum sampai teras karena begitu tidak sabar memperlihatkan yang ia bawa.
   
       Mama juga seperti pohon Sequoia yang berdiri menjulang tinggi, kuat dan sabar untuk bertahan sendirian.

~~~~

Mama seperti melodi ini
...



Dvorak-My Mother Taught Me


Mamah sayang.
Selamat hari ibu.
 Peluk jauuuh, maaf gak ada di sana ya mah.
Tapi ara udah titip pesan sama Allah agar jaga mamah juga di sana. Amin.
Sayang mamah.
Peluh mamah adalah semangat kami
untuk menciptakan oase di mata hati mamah.
Karena mama dan ayah pun begitu.
WE LOVE YOU MAMAH


Kata siapa ayah ninggalin mamah sendirian, ada kita kan ber-5.
:")
Happy mother's day mamah dan semua  ibu pemberi kehidupan.
Semoga kalian selalu dimuliakan oleh Allah.
Amin ya Rabb.

Thursday, December 9, 2010

Surat Alm. Pak Asep Sambodja kepada seorang Narita

Minggu, 14 Maret 2010


Surat Buat Narita




Narita yang baik,
Saya sudah membaca tujuh puisimu. Temanya beragam, itu sangat bagus, terlebih lagi ada tema sosial. Bahkan kritik sosial. Yang seperti ini yang harus sering diasah. Diksi atau pilihan katamu untuk beberapa puisi, seperti “Asa”, “Tuhan”, dan “Sajak yang Terisak” sudah bagus. Artinya, sudah ada kata-kata puitis yang kau ciptakan. Hanya saja, kurang greget. Ini bisa dibuat lebih greget lagi jika Narita sebagai penyair lebih merapatkan jarak antara penulis dan objek yang hendak ditulis. Caranya dengan menggunakan perspektif atau sudut pandang aku.

Barangkali akan lebih jelas jika saya memberikan contoh konkret. Kalau kita ingin menulis tentang penderitaan seorang korban bencana alam, misalnya, maka kita harus benar-benar menghayati penderitaan si korban itu. Kita masuk dan merasuk ke dalam dirinya. Kita serap deritanya. Maka, yang akan terekspresikan dalam puisi kita nantinya bukan kata-kata “jari itu” atau “jemari itu”, melainkan “jariku” atau “jari-jari ini” atau “jemari ini” dan seterusnya. Kamu tidak lagi menulis penderitaan itu dengan kata “mereka”, melainkan “aku”, karena aku-penyair-Narita telah merasuk menjadi si korban bencana alam itu.

Perspektif aku-an memang akan menghapus jarak yang ada, sehingga terasa lebih greget. Bayangkan, lebih greget mana: pengakuan seorang perempuan perkosaan dengan keterangan dari polisi yang menangani kasus perkosaan itu. Sebagai penyair, kau harus menempatkan diri pada diri si perempuan korban perkosaan itu, kau rasakan bagaimana sakitnya, kau hayati penderitaannya, dan kemudian yang keluar dari puisi-puisimu adalah “aku” yang menjadi perempuan itu. Bukan “aku” yang menjadi polisi atau wartawan yang melaporkan peristiwa itu.
Begitu juga kalau bicara tentang Tuhan. Tidak akan lagi kau katakan “sorot mata itu”, melainkan “sorot matamu” atau “sorot mataMu”. Ini untuk menggambarkan hubungan yang demikian dekat, tak berjarak, antara kau dengan Tuhanmu.

Puisi “Pengaduan Bocah Sakurata” dan “Jika Korupsi Jadi Tradisi” memperlihatkan kepekaan sosialmu. Ini bagus. Cuma, tantangannya memang sangat berat. Tidak masalah membuat puisi-puisi pamflet, puisi-puisi protes, hanya saja, apakah puisi protes itu masih bisa dinikmati sebagai karya seni? Ini sebuah tantangan yang maha berat yang hanya bisa ditaklukkan jika kita terus menulis. Dalam dua puisi itu sikapmu sebagai penyair sudah memperlihatkan posisimu yang membela orang-orang tertindas, teraniaya, tersisihkan, terpinggirkan, kaum lemah, wong cilik, orang-orang yang tak berdaya. Bagi saya, ini sudah merupakan modal utama untuk menulis puisi-puisi yang bertema sosial-politik seperti itu. Sekali lagi, teruslah menulis agar tajam terasah.

Kamu bertanya, bagaimana menuliskan tanggal? Meminjam pernyataan Pramoedya Ananta Toer—sastrawan hebat Indonesia yang patut diteladani—puisi-puisimu itu adalah anak-anak rohanimu. Sama seperti proses kelahiran seorang anak manusia, penulisan tanggal kelahiran adalah ketika anak itu keluar dari rahim ibu, bukan saat sel telur dibuahi oleh sperma. Jadi, begitulah Narita.

Semoga cukup memuaskanmu.

Citayam, 18 Januari 2010
Asep Sambodja

Narita yang baik,
Surat pertamaku sejatinya mencerminkan keinginan seorang pembaca akan sebuah puisi. Mungkin ini pun begitu pula. Hanya saja, kali ini saya ingin mengetahui kau ingin bicara apa melalui puisi-puisimu itu. Terus-terang, saya sangat menyukai puisi “Mata Tua” yang kau tulis dengan sangat intens. Kau menggunakan kata-kata yang terjaga dengan baik. Kata-kata itu yang akan memancarkan makna; makna puisi itu, makna kata-kata itu, makna kehidupan yang kau serap dan kau ekspresikan melalui “Mata Tua”. Agar tidak membuat penasaran pembaca lainnya, kali ini izinkan saya memuat puisimu itu dalam catatanku kali ini.

Mata Tua
surya rebah
langit memar memerah
di kelopak mata
yang menutup baru saja
Putri Narita Pangestuti
Kendal, 27 Januari 2008

Bagai seorang fotografer, kau menangkap saat-saat senja yang memang senantiasa memberi inspirasi kepada manusia untuk menafsirkannya. Puisi itu bisa ditafsirkan secara harfiah maupun simbolis. Keduanya sama-sama bermutu. Secara harfiah, misalnya, situasi matahari terbenam itu sendiri menimbulkan keindahan. Pengalaman menyaksikan sunset di Kuta dan Tanah Lot, Bali, misalnya, selalu saja menyimpan memori yang tak terlupakan. Ada cerita di balik pemandangan itu; di balik keindahan itu. Secara simbolis, senja bisa ditafsirkan sebagai perlambang kematian. Kehidupan manusia memang fana. Dan Tuhan, kalau kita percaya adanya Tuhan, selalu memberi tanda-tanda. Bahwa ada saatnya manusia akan menemui ajalnya.

Dalam Alquran juga disuratkan bahwa ternyata kehidupan di dunia itu sangat sementara, sangat sekejap, hanya seperti sebuah sore. Bayangkan, dalam firman Tuhan itu “sore” yang sebentar itu menjadi lambang kesementaraan hidup. Begitu pula dengan puisi “Mata Tua”-mu yang menurut saya sangat bagus. Biarlah pembaca memberi penafsiran yang berbeda-beda. Goenawan Mohamad pernah mengatakan, seribu kepala seribu penafsiran. Tapi, kau tak perlu gusar ataupun risau. Semakin banyak interpretasi yang diberikan kepada puisimu, maka semakin kayalah karyamu itu. Bahkan penafsiran yang saling bertentangan sekalipun!

Dalam puisi “Dikejar Bayang-bayang Kelam”, kau menggambarkan orang-orang yang kalah. Sebenarnya itu tidak masalah, tapi saya ingin memberi nilai lebih buatmu sebagai penyair. Saya contohkan penyair perempuan lain, Dorothea Rosa Herliany, yang dalam puisi-puisi terbarunya sudah semakin kuat, semakin matang, dan semakin “menjadi”, kata Chairil Anwar. Kenapa bisa demikian? Karena, menurut saya, Dorothea sudah menemukan visinya; dia sudah memiliki kesadaran sebagai seorang feminis. Dengan demikian, puisi-puisi yang dihasilkannya pun mencerminkan visinya itu. Puisi-puisi yang diciptakannya sudah menyuarakan kepentingan perempuan; segala persoalan dilihat dari perspektif atau kacamata perempuan. Oleh karena itu, sangat wajar Dorothea menghasilkan puisi-puisi yang mendobrak budaya patriarki (dominasi laki-laki atas perempuan) dan mengangkat harkat dan martabat perempuan.

Sebagai contoh, ketika dia menggambarkan tokoh Sita (atau Sinta) dalam epos Ramayana, maka yang tergambar bukan lagi Sinta yang pasrah, yang menurut begitu saja dengan Rama, yang mau begitu saja membakar dirinya sendiri untuk membuktikan kesucian. Tidak. Sinta yang digambarkan Dorothea adalah seorang perempuan yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Dia tidak mau dibodohi untuk mempertanggung jawabkan kesuciannya. Karena, keberadaan Sinta di istana Rahwana bukanlah atas kehendaknya, melainkan ia diculik. Karena itu, bisa keluar dari sarang penculik saja sebetulnya sudah syukur alhamdulillah. Lha, kok, Rama masih meragukan kesuciannya? Dorothea mempertanyakan, kenapa laki-laki masih suka curiga dan tidak percaya pada keperawanan seorang perempuan? Apakah laki-laki juga menjaga kesuciannya sendiri?

Nah, Narita, contoh di atas saya pikir pas untuk diterapkan pada puisi “Punta Dewa”. Saya tidak membatasi kau mau mengangkat tokoh apa saja, tokoh siapa saja, dengan catatan, jangan lupakan visimu, pemikiranmu. Tidak selalu harus tunduk pada konvensi yang telah ada. Artinya, kalau selama ini orang menganggap pandawa itu bagus semua, kau harus hati-hati, kau harus curiga; harus kritis: benarkah semua tokoh pandawa bagus semua? Kalau kau teliti tokoh Arjuna yang banyak dipuja-puja itu, ternyata dia suka berselingkuh dan berpoligami. Sebagai perempuan, bagaimana pendapatmu? Mau mengukuhkan budaya patriarki seperti itu atau mau meruntuhkannya? Kalau kau mengukuhkannya, maka wajarlah kalau pemilik warung Wong Solo berpoligami. Boleh-boleh saja berpoligami; agama tidak melarangnya, tapi perempuan sangat membencinya.

Dalam puisi “Kucumbu Dirimu”—puisi ini juga nyaris bagus—ada paradoks yang agak mengganggu kenikmatan pembaca. Judulnya mencerminkan tindakan aktif, namun di dalamnya ternyata sangat pasif: “sedang aku dicumbu bayang rembulan”. Coba kau poles puisi ini; apakah judulnya yang diganti atau isinya yang diperbaiki. Mungkin judulnya bisa diganti menjadi “Kaucumbu Diriku”. Tapi, hak prerogatif tetap pada Narita sebagai penyair.
Untuk sementara, saya cukupkan catatanku ini.

Citayam, 21 Januari 2010
Asep Sambodja


Narita yang baik,
Ketika manusia merasa jenuh dengan kata-kata kosong para politikus, mereka akan mencari oase pada sebuah puisi. Ketika manusia merasa tertekan dengan peraturan-peraturan, undang-undang, hukum yang tegas buat orang kecil tapi tumpul buat pejabat, penguasa, dan pengusaha, mereka merindukan suara lembut yang bernama puisi. Ketika amarah tak terkendali tumpah di jalan-jalan, mereka pun akan kangen pada puisi.

Begitu juga ketika berita disampaikan dengan penuh pretensi, maka terkadang kita menginginkan berita itu disampaikan secara puitis. Memang tidak semuanya seperti itu, pasti ada berita yang disampaikan secara proporsional dan tak emosional. Tapi, di masa neo liberalisme bersimaharajalela seperti sekarang ini, maka berita yang objektif dan elegan seperti itu semakin sulit ditemui. Puisimu yang berjudul “Tasik dan Cianjur” (Catatan Gempa) pada hakikatnya adalah sebuah berita tentang bencana alam yang menimpa saudara-saudara kita di Tasikmalaya dan Cianjur. Kau, sebagai penyair, tergerak untuk mewartakan, merekam, mengabadikannya dalam puisi.

Sebagaimana wartawan yang memiliki perspektif tersendiri, dan juga memiliki pandangan yang cenderung sama dengan media tempatnya bekerja—yang tentu saja memiliki visi ataupun kepentingan tertentu—kau pun memiliki perspektif tersendiri dalam melihat bencana itu. Kaum postmodernisme berpendapat bahwa manusia itu makhluk yang unik, karena itu apa pun pendapatnya, apa pun karyanya, akan memperlihatkan keunikan itu. Puisimu pun begitu. Ada kedalaman makna yang terasa dari puisimu berikut ini.

Tasik dan Cianjur
(: catatan gempa)

kamboja tersenyum
kerandakeranda dipikul
di Tasik dan Cianjur
helai-helai mawar tertidur

Putri Narita Pangestuti
Pekalongan, 7 September 2009


Sedikit sekali penyair yang peduli dengan nasib manusia; terlebih lagi peduli pada nasib orang-orang teraniaya. Yang paling banyak ditulis oleh para penyair salon—istilah ini pertama kali dipakai oleh Rendra—adalah kegelisahan dirinya sendiri; kegelisahan eksistensialisme.

Dari yang sedikit itu, kita bisa temukan nama K.H. A. Mustofa Bisri atau Gus Mus. Dia tidak peduli apakah yang ditulisnya itu disebut sebagai puisi atau tidak, yang penting pesan yang ingin disampaikannya kepada pembaca bisa dipahami dan dimengerti, serta dipetik manfaatnya. Puisinya yang berjudul “Rasanya Baru Kemarin” yang ditulis setiap 17 Agustus berisi kritik terhadap penguasa negeri ini. Bagi saya, puisi-puisi seperti inilah yang perlu dieksplorasi terus-menerus. Karena, penguasa memang harus dikritik terus-menerus agar tetap sadar bahwa kekuasaan itu amanah rakyat dan amanah Tuhan juga. Arahkan “mata pedang” itu ke penguasa, bukan ke rakyat jelata. Pernyataan ini bukan hanya untuk para penyair saja, tapi terutama untuk aparat penegak hukum di negeri sarang koruptor ini. Kenapa koruptor masih merajalela di Indonesiamu? Karena “mata pedang” aparat penegak hukum tidak diarahkan ke penguasa, melainkan ke rakyat jelata. Jadinya, seperti yang kau tahu, nenek yang mencuri tiga biji kakao dijatuhi hukuman penjara; Prita yang mengeluhkan adanya malpraktik di RS Omni Internasional dikenai denda Rp204 juta—saat ini kasusnya masih berproses di tingkat kasasi, sementara Artalyta yang sekarang kita kenal sebagai mafioso peradilan dekat dengan keluarga Cikeas dan ruang tahanannya melebihi hotel bintang tujuh.

Puisimu yang berjudul “Peperangan” (di Gaza) juga menarik dari segi tematik. Bahkan setiap kata yang kau torehkan dalam puisi ini memberi metafora yang kuat dalam menggambarkan betapa dahsyatnya perang Gaza itu. Kepahitan akibat perang begitu terasa dalam puisimu ini.

Peperangan
(: catatan untuk Gaza)

langit biru terkubur
kupu-kupu menghitam
di dalam mesiu
sayap
patah
terpendam
merpati putih
terjegal, tersumpal
gado-gado bersaus merah kental
terhidang
rudal menyusui bayi
air mata mati
mendung
terlalu menggumpal

Putri Narita Pangestuti
Kendal, 13 Januari2009

Dua puisimu yang lain yang menurut saya bagus adalah “Kaki Senja” dan “Ketegaran”. Yang mennonjol dari dua puisimu di bawah ini adalah kepaduan atau keutuhan sebuah puisi. Sesuatu yang ingin kau gambarkan dalam puisi ini terasa meaningful, bahkan cenderung religius. Ada hubungan aku-alam-sang pencipta dalam puisi yang padat ini. Tampak bahwa kau serius memilih kata dalam menulis puisi. Tapi harus cepat-cepat saya katakan bahwa kita jangan berhenti pada kata-kata yang indah tapi hampa makna, karena itu berilah makna pada setiap kata yang kau gunakan dalam menulis puisi.

Kaki Senja

sujud kaki senja
mengeja bait-bait mantra
ayat-ayat dikemas jiwa
: langkah mengurai makna
pada senja diikat sebuah lentera

Putri Narita Pangestuti
Semarang, 18/04/2009

Ketegaran

dalam badai yang terus menggerus
hati dan pikir tak izinkan berubah tirus
rasaku menghunus gelombang zaman yang tak kurus
seperti puisimu yang mengalir tak putus
menatap ketegaran
pada jiwa-jiwa yang kudus

Putri Narita Pangestuti
12 Nopember 2009 at 1:44 pm


Jika pelukis menggunakan kekuatan warna, maka penyair menggunakan kekuatan kata. Jika penari menggunakan kekuatan gerak, maka penyair menggunakan kekuatan kata. Jika aktor menggunakan kekuatan acting, maka penyair menggunakan kekuatan kata. Jika penyanyi menggunakan kekuatan suara, maka penyair menggunakan kekuatan kata. Saya sangat setuju dengan Sapardi Djoko Damono yang mengatakan bahwa kata adalah segala-galanya dalam puisi. Karena itu, jangan biarkan kata-kata itu hampa makna. Jangan biarkan kata-kata itu sekadar kata yang genit tapi kosong. Kamu boleh mengutip Warteg Boys: “Okelah kalau begitu.”

Citayam, 31 Januari 2010
Asep Sambodja



Narita yang baik,
Semakin lama puisi-puisimu semakin meyakinkanku, bahwa kau tidak sedang iseng menulis puisi. Kamu pasti mengerti, menulis puisi bukan sekadar menyusun kata-kata indah, namun juga memberi arti atau makna pada setiap katanya. Sepertinya tidak mudah, tapi sesungguhnya dapat dikatakan mudah, jika kita sepenuhnya mengungkapkannya dengan penuh kejujuran. Kau bilang, “ketulusan.”

Ya, tulus dan jujur pada diri sendiri. Politikus busuk tidak akan pernah bisa jujur bahkan kepada dirinya sendiri. Makanya, penyair tidak akan pernah diam melihat ketidakadilan di depan matanya. Penyair selalu gelisah menyaksikan ketidakadilan yang terjadi di kesementaraan dunia ini.

Kali ini, bukan puisi-puisi yang bernada kritik sosial yang akan saya bicarakan, namun puisi-puisi religiusmu.

Puisi “Jalan Cahaya” yang kau tulis demikian dalam maknanya. Sebuah proses pencarian yang tidak didapat secara gratis. Setiap manusia di dunia ini sebenarnya memiliki bayangan (image) tentang Tuhan yang berbeda-beda. Ada yang ingin melihat Tuhan dengan mata kepalanya sendiri untuk bisa percaya pada eksistensi Tuhan. Ada yang melambangkan Tuhan dengan suatu benda tertentu untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa Tuhan itu ada. Ada pula yang harus percaya dan yakin begitu saja meskipun Tuhan tidak dipersonifikasikan. Bahkan ada yang tidak percaya pada Tuhan alias atheis. Nah, puisimu ini sangat jujur. Minimal menurut saya. Bahwa “aku mengira inilah jalan cahaya”. Artinya, jalan yang kau lalui itu bisa jadi merupakan jalan yang terbaik buatmu (aku-lirik) untuk menemukan cahaya. Artinya lagi, jalan itu adalah jalan yang sangat cocok dan pantas buatmu. Namun, belum tentu pas buat orang lain. Yang menarik bagi saya adalah persoalan keyakinan kau bawa atau kau masukkan ke wilayah pribadi, wilayah yang sangat personal, dan tidak kau desakkan pada orang lain. Bahkan kepadaku pun tidak. Ini sangat relevan dengan firman Tuhan yang mengatakan “bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” (QS 109:6).

Jalan Cahaya

jiwaku memanjat tebing sunyi
mencari celah dari gelak tawa dunia
seperti air meresap-resap
tiada mampu membendungnya

jiwa kecilku
tak henti bernada
terus melesat
menyempurna pada keagungannya

aku mengira inilah jalan cahaya
dibendung tak limbung
diterjang tak karam

jalan cahaya ada dalam rahasia
memanjat sulbi-sulbi jiwa
yang menanam biji bunga seroja

Putri Narita Pangestuti
12 Februari 2010

Puisi “Yang Ada dan Tiada” memperlihatkan proses pencarianmu atas Sang Maha Kasih. Tidak berhenti pada pencarian semata, namun disertai pemahaman untuk saling mengerti dan saling menerima. Yang untuk mendapatkannya tidak begitu mudah, apalagi di zaman yang serba benda ini. Sebuah zaman yang didominasi oleh paham kapitalisme liberal. Ada kapital, semua bisa diatur. Maka, jalan yang kau tempuh adalah jalan sunyi. Hanya segelintir manusia yang sudi menekuri jalan sunyi itu; jalan menuju cahaya.

Yang Ada dan Tiada

tak ada yang mampu menyamai
yang paling tiada, kecuali
yang paling ada

karena yang paling ada
ialah
yang paling tiada
ia tak berawal
tak berakhir

Putri Narita Pangestuti
12 Februari 2010

Tidak mengherankan jika dalam puisi “Perahu Asing” kau merasa seperti orang asing yang berada di tengah-tengah samudera zombie. Tahukah kau, apakah zombie itu? Zombie adalah mayat hidup. Dan tahukah kau, apakah mayat hidup itu? Mayat hidup adalah sejenis manusia. Tampaknya ia seperti seorang manusia, tapi sejatinya hatinya kosong. Manusia yang hidup di bumi namun tak punya tujuan, tak punya pegangan, tak ada keinginan untuk mencari cahaya. Nabi Nuh pun pernah dianggap gila, ketika ia mengembangkan teknologi perkapalan (sayang waktu itu Alfred Nobel belum lahir; kalau sudah lahir dan kaya raya berkat dinamit, pasti Nuh dapat Hadiah Nobel), ia dianggap gila. Orang-orang yang menekuri jalan sunyi senantiasa dianggap gila. Gila menurut siapa? Kalau yang bilang gila itu orang gila, biarkan saja.

Perahu Asing

perahuku menjelma dari kulit suara
mengangkut biji wicara
dari lautan makna
tertitah dari zat yang Maha Menatap

mendayung
aku membawanya pada lautan jiwa

orang menatapnya sebelah mata
sebagian lagi bertutur cela
ada juga yang menutup rapat telinga
asyik berakrobat dengan dayung-dayung
dan balok suara mereka

perahuku dicela tak berharga
dan aku dianggapnya pemantra gila

sedang perahukulah
yang bisa sampai berlabuh pada dermaga surya

Putri Narita Pangestuti
12 Februari 2010

Demikianlah.

Citayam, 13 Februari 2010
Asep Sambodja